BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Hadis Shahih
1. Pengertian
hadits shahih
Shahih
secra etimologi adalah lawan dari saqim ( sakit ). Sedangkan dalam istilah ilmu
hadits, hadis shahih berarti :
مَااتٌصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ
اْلعَدْلِ اْلضٌا بِطِ عَنْ مِثْلِهِ اِلَىَ مُنْتَهَا هُ مِنْ غَيْرِ شُذُوْذٍ
وَلاَعِلَّةِ.
Hadis
yang berhubungan ( bersambung ) sanad-nya yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, dhabith, yang diterimanya dari perawi yang sama ( kualitasnya ) dengannya
sampai kepada akhir sanad, tidak syadz dan tidak pula ber-‘illat.[1]
Ibn
al-shalah mendefinisikan hadis shahih sebagai berikut:
Yaitu
hadis musnad yang bersambung sanad-nya dengan periwayatan perawi yang adil dan
dhabith, ( yang diterimanya ) dari perawi ( yang lain ) yang adil dan dhabith
hingga ke akhir (sanad – nya, serta hadis tersebut tidak syadz dan tidak
ber-‘illat.
Dari
kedua definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa suatu hadis dapat dinyatakan
shahih apabila telah memenuhi
kriteria tertentu. Kriteria yang telah dirumuskan oleh para ulama tentang hadis
shahih adalah sebagai berikut:
a.
Sanad hadis
tersebut harus bersambung. Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadis
secara langsung dari perawi yang berada di atasnya, dari awal sanad sampai ke
akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada nabi Muhammad SAW sebagai sumber
hadis tersebut. Hadis-hadis yang tidak bersambung sanad-nya, tidak dapat
disebut Shahih, yaitu seperti hadis munqathi’, mu’dhal, muallaq, mudallas dan
lainnya yang sanad-nya tidak bersambung.
b.
Perawinya adalah
adil.
c.
Perawinya adalah
dhabit, artinya perawi hadis tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadis,
memahami apa yang ia dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia
menerima hadis tersebut sampai pada masa ketika ia meriwayatkannya. Atau, ia
mampu memelihara hadis yang ada di dalam catatannya dari kekeliruan, atau dari
terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebaginya, yang dapat mengubah hadis
tersebut. Ke-dhabita-an seorang perawi, dengan demikian, dapat dibagi dua,
yaitu dhabit shadran ( kekuatan ingatan atau hafalannya ) dan dhabith kitaban (
kerapian dan ketelitian tulisan atau catatannya ).
d.
Bahwa hadis yang
diriwayatkan tersebut tidak syadz. Artinya, hadis tersebut tidak menyalahi
riwayat perawi yang lebih tsiqat dari padanya.
e.
Hadis yang
diriwayatkan tersebut selamat dari ‘illat yang merusak.[2]
Kelima
persyaratan di atas merupakan tolak ukur untuk menentukan suatu hadis itu
sebagai hadis shahih. Apabila kelima syarat tersebut dapat dipenuhi secara
sempurna, maka hadis tersebut dinamakan
dengan hadis shahih lidzatihi.
2. Macam-macam Hadis Shahih
Para ulama membagi hadis shahih
menjadi dua yaitu:
a.
Hadis Shahih
Lidzati.
Hadis shahih
lidzati adalah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria ke shahihan
sebagaimana yang disebutkan di atas, dan tidak memerlukan penguat dari yang
lainnya.[3]contoh:
حدّثنا عبد الله بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع
عن عبد الله انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: اذا كانوا ثلاثة فلا يتناجى اثنان دون الثّالث (رواه البخارى) fArtinya: “Bukhari
berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik
tanpa ikut serta orang ketiga.” (H.R Bukhari)
Hadits
di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf menerima dari Malik,
Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah
itulah sahabat Nabi yang mendengar Nabi SAW bersabda seperti tercantum di atas.
Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai Abdullah (sahabat) adalah
rawi-rawi yang adil, dhabit, dan benar-benar bersambung. Tidak ada cacat, baik
pada sanad maupun matan. Dengan demikian hadits di atas termasuk hadits shahih
li zatihi.
b.
Hadis Shahih Lighairihi.
Hadis shahih
lighairihi adalah hadits hasan lidzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan
yang lain oleh perawi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
Hadis
tersebut dinamakan dengan shahih lighairihi adalah karena ke shahihnya tidaklah
berdasarkan pada sanadnya sendiri, tetapi berdasarkan pada dukungan sanad yang
lain yang sama kedudukannya dengan sanadnya atau lebih kuat dari padanya.
Kedudukan HadisShahih Lighairihi ini berada
dibawah hadis Shahi Lidzatihi dan berada di atas Hasan Lidzatihi.[4]
Contoh hadis Shahih Lighairihi
adalah:
Hadis yang
diriwayatkan oleh Muhammad ibn Amrin dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW. Bersabdah: jikalau tidaklah memberatkan atas umatku niscaya aku
akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat. (HR Tirmidzi)
3.
Hukum dan Status ke hujjahan Hadis Shahih
Para ulama’
hadis, demikian juga para ulama’ Ushul fiqih dan Fuqaha, sepakat menyatakan
bahwa hukum hadis Shahih adalah wajib untuk menerima dan mengamalkannya. Hadis
Shahih adalah hujjah dan adil dalam penetapan hukum syara’, oleh karenanya
tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya.[5]
B.
Hadis Hasan
1. Pengertian dan kriteria
Hasan
secara etimologi adalah merupakan shifat musyabbahah, yang berarti al-jamal,
yaitu “idah”, “bagus” sedangkan pengertian Hadis Hasan menurut istilah ilmu
Hadis tercangkup dalam beberapa definisi seperti berikut:[6]
Menurut Al-Tirmidzi, Hadis Hasan
adalah:
Setiap hadis
yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanad-nya perawi yang pendusta, dan
hadis tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.
Dengan demikian,
kriteria Hadis Hasan ada lima yaitu:
a.
Sanad Hadis
tersebut harus bersambung
b.
Perawinya adalah
adil
c.
Perawinya
mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi hadis Shahih
d.
Bahwa Hadis yang
diriwayatkan tersebut tidak syadz. Artinya hadis tersebut tidak menyalahi
riwayat perawi yang lebih tsiqot dari padanya
e.
Bahwa hadis yang
diriwayatkan tersebut selamat dari ‘illat yang merusak
2. Macam-macam Hadis Hasan
Hadis Hasan terbagi kepada dua
macam, yaitu:[7]
a.
Hasan Lidzatihi
yaitu hadits yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria hasan sebagaimana
yang telah disebutkan diatas.
b.
Hasan Lighairihi
yaitu hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang
fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadis dhaif yang buruk hafalannya (su’ualhifdzi ), tidak
dikenal identitasnya ( mastur ) dan mudalis (menyembunyikan cacat) dapat naik
derajat menjadi hasan lighaoirihi karena dibantu oleh hadits” lain yang semisal
dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.
3.
Hukum dan Status Kehujjahannya
Hadis
hasan, sebagaimana halnya Hadis shahih, meskipun derajatnya berada dibawah
Hadis Shahih, adalah Hdis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil
atau hujjah dalam penetapan hukum atau dalam beramal.[8]
C.
Hadis Dha’if
1.
Pengertian Hadits Dha’if
Hadits dhaif
adalah semua hadits yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadits yang
diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama, hadits dhaif adalah yang tidak
terkumpul padanya sifat hadis shahih dan hasan.[9]
2. Kriteria hadits dha’if
a.
Terputusnya
hubungan antara satu perawi dengan perawi lain di dalam sanad hadits tersebut,
yang seharusnya bersambung.
b.
Terdapatnya
cacat pada diri salah seorang perawi atau matan dari hadits tersebut.
3. Klasifikasi hadits dha’if
Para ulama
muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni
dari jurusan sanad dan dari jurusan matan. Sebab-sebab tertolaknya hadits dari
jurusan sanad adalah:
a.
Terwujudnya
cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun kedhabitannya.
b.
Ketidak
bersambungannya sanad, dikarenkan adanya seorang rawi atau lebih, yang
digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi itu
ada 10 macam yaitu:
1)
Dusta
2)
Tertuduh Dusta.
3)
Fasik
4)
Banyak salah.
5)
Lengah adalam menghafal.
6)
Menyalahi riwayat orang kepercayaan.
7)
Banyak waham ( purbasangka )
8)
Tidak diketahui identitasnya.
9)
Penganut bid’ah
10) Tidak baik hafalannya.
Dari
beberapa kecacatan diatas hadis dhaif
terbagi menjadi sebagai berikut:[10]
a.
Hadis Maudhu’
adalah hadits yang dibuat oleh seseorang ( pendusta ), yang ciptaan itu
dinisbatkan kepada rasulullah Saw. Secara palsu dan dusta, baik disengaja
maupun tidak
b.
Hadits Matruk
adalah Hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta. Rawi
yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagi
pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam
membuat hadits. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertaubat dg
sungguh-sungguh dapat diterima periwayatan.
c.
Hadits Munkar
adlah hadits yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak
kelengahannya atau tampak kefasikannya. Lawannya dinamakn makruf.
d.
Hadits Syadz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang makbul, yang menyalahi
riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak atau
lebih tinggi daya hafalnya.
e.
Hadits Muallaq
adalah hadits yang gugur perawinya, abik seorang, baik dua orang, baik
semuanya, pada awal sanad, yaitu guru dari seoarng imam mahdits.
f.
Hadits Mu’dhal
yaitu hadits yang gugur dua orang perawi berturut-turut dipertengahan sanad.
Menggugurkan perawi semacam ini dinamai i’dal.
g.
Hadits Mursal
adalah hadits yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabiin besar
maupun tabiin kecil.
h.
Hadits Munqathi’
adalah hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat disatu tempat, atau
gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut
i.
Hadits mudallas
adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu
tidak bernoda, rawi yang berbuat demikian disebut mudallis. Hadits yang
diriwayatkan oleh mudallis disebut hadits mudallas, dan perbuatannya disebut
dengan tadlis.
Macam-macam tadlis:
1).
Tadlis Isnad adalah bila seorang rawi yang meriwayatkan suatu hadits dari orang
yang pernah bertemu dengan dia, tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar
hadits darinya.
2).
Tadlis Syuyukh adalah bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang
didengarkan dari seorang guru dengan menyebutkan nama kauniyahnya, nama
keturunanya, atau menyifati gurunya, dengan sifat-sifat yang belum tidak
dikenal oleh orang banyak.
3). Tadlis tasbiyah ( tajwid ) adalah bila seorang
rawi meriwayatkan hadits dari gurunya ayng sighot, yang oleh guru tersebut
diterima dari gurunya ayng lemah, dan guru yang lemah menerima dari seoarng
guru siqhoh Pula, tetapi si
mudallis tersebut meriwayatkan tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan
ia meriwayatkan dengan lafadz yang mengandung pengetian bahwa rawinya siqhoh
semua.
j. Hadits
marfu’ adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan pada nabi
muhammad saw, baik sanad hadits tersebut bersambung-sambung atau terputus, baik
yang menyandarkan hadits itu sahbat ataupun lainnya.
k. Hadits
Mauquf adalah hadis yang disandarkan kepada sahabt, baik berupa perkataan,
perbuatan, atau taqrir
l. Hadits Maqtu’ adalah hadits yang
disandarkan kepada tabi’in atau orang yang sebawahnya, baik perkataan maupun
perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad.Mudzakir.2000.Ulumul Hadis.Bandung: CV.Pustaka Setia.
Suparta. Munzier. 2002 . Ilmu Hadis. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Muh.Ahmad dan . Mudzakir.M.2000. Ulumul
Hadist Bandung: CV.Pustaka Setia.
Mudasir.2010. Ilmu Hadis. Bandung: CV.Pustaka Setia.
Khon.Abdul Majid.2008. Ulumul
Hadis.Jakarta: Amzah.
Yuslem.Nawir. 2001. Ulumul
Hadi. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
Sholahudin.M.Agus . 2013.Ulumul
Hadis. Bandung: CV.
Pustaka setia.
Arifin.Zainul.2010. Study Kitab Hadis. Surabaya: Al-Muna Surabaya.
[1] Muhammad Ahmad, Drs,.H, Mudzakir,
Drs,.M, Ulumul Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal.
101
[2]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 142
[3]
Muh.Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadist
(Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000), hal.106
[4]
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2010), hal.149-145
[6]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis
(Jakarta: Amzah, 2008), hal 160
[7]
Ibid.,hlm 161
[8]
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
(Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya, 2001) hal 233
[9]
M.Agus Solahudin, Ulumul
Hadis, ( Bandung, CV. Pustaka setia,
2013 ), hal 148
[10]
Zainul Arifin, Study Kitab
Hadis, (Surabaya, Al-Muna Surabaya, 2010), hal 174.
Komentar
Posting Komentar