الخوف المبالغ فيه على الابناء
RASA TAKUT YANG BERLEBIHAN TERHADAP ANAK-ANAK
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Arab
Dosen Pengampu: Dr. A. Halil
Thahir, M.HI
Oleh
Elysa Nurul Qomaria
921. 015. 19. 005
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2019
BAB I
I.
Pendahuluan
Ketakutan atau Kecemasan adalah hal yang
normal di dalam kehidupan karena kecemassan sangat dibutuhkan sebagai pertanda
akan bahaya yang mengancam. Namun ketika kecemasan terjadi terus menerus, tidak
rasional dan intensitassnya meningkat, maka kecemasan dapat mengganggu
aktifitas sehari-hari dan disebut sebagai gangguan kecemasa.[1] Ketakutan yang berlebihan pada suatu hal atau
fenomena dalam ilmu psikologi dinamakan fobia. Fobia bisa
dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang mengidapnya. Fobia sebenarnya
adal-ah rasa takut yang berlebih yang dialami seseorang. Fobia bisa menyerang
siapapun, tidak memandang itu anak-anak atau orang tua. Fobia yang dialami anak
saat mereka belajar dari lingkungannya. Orang tua yang berteriak ketika melihat
objek tertentu, menunjukkan ekspresi takut yang berlebihan, bahkan melarang
anak untuk mendekati objek atau situasi yang ditakuti tersebut tanpa memberi
alasan yang jelas dapat menularkan fobia tersebut pada anak-anaknya. Disamping
itu karena pengalaman menakutkan yang terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan
anak mengalami fobia.
Fobia biasanya dialami oleh
anak-anak, disini berbeda jika ternyata yang mengalami fobia ini adalah ibu.
Dimana ibu memiliki kekhawatiran yang berlebih terhadap anak-anak mereka.
Sebenarnya kekhawatiran seorang ibu terhadap anak-anaknya adalah hal yang
wajar. Namun jika kekhawatiran itu sudah berlebihan bahkan sampai pada tingkat
yang tertinggi itulah yang tidak baik. Karna akan menjadikan pola asuh ibu
menjadi otoriter. Pola asuh yang otoriter bisa membuat anak tidak mampu mengembangkan potensi mereka dengan baik.
II. Isi Teks
Ketakutan yang
berlebihan terhadap anak-anak
Ide
utama dalam pembahasan ini adalah apakah orang tua mengerti betapa pentingnya
mendidik anak-anak, dan melindunginya dari semua kejahatan. Yang menjadikan
mereka cemas terhadap anak-anaknya,
sehingga kecemasan itu benar-benar nyata, yang menjadikan mereka khawatir jika anaknya
mengalami berbagai hal.
Salah satunya orang tua cemas jika
sang anak berurusan dengan orang lain, cemas berurusan dengan udara, dan akan terkejut jika salah satu dari
mereka ada di tanah atau mengalami cedera ringan.
Ibu sangat senang berlindung di
belakang dokter, dan sangat tergantung dengan apa
yang dikatakan seorang dokter, dimana sang ibu akan bahagia apabila seorang dokter mengatakan bahwa anak
mereka sakit. Berbeda jika seorang dokter mengatakan bahwa sang anak tidak
sakit, mereka akan marah dan membawa anaknya ke dokter yang lain karna merasa
asumsi dokter tersebut tidak sesuai dengan yang mereka khawatirkan.
Saat beberapa anak
mereka takut pada sang ibu atau melecehkan ketakutannya. Ibu akan sangat terkejut. Apalagi
sebagian dari mereka melawan bahkan menuunjukkan bahwa mereka marah, sampai
terkadang ada yang berani mengatakan dengan perkataan: Saya tidak muda, Mengapa ibu takut dengan gambar
ini?
Analisis ilmiah situasi:
Rasa takut yang wajar akan tanda-tanda kesehatan rohani dan jasmani, tetapi pergeseran rasa takut telah menjadi fobia, dalam arti penyakit psikologis, dan karena itu rasa takut pada ibu terhadap anak-anak akan tanda-tanda kesehatan atau keduanya, tetapi jika berubah menjadi rasa takut yang berlebihan telah menjadi penghalang bagi pendidikan, yang mengharuskan setiap orang tua agar mampu menghentikan emosi seperti itu, orang tua harus membangun kepercayaan diri anak-anak dan melatih mereka untuk bertanggung jawab.
Semua orang tahu bahwa perawatan yang berlebihan tidak mencegah sesuatu yang mencegah kita melakukan sesuatu dalam pengetahuan yang tak terlihat, tetapi sebelum memaksakan perlindungan pada anak-anak kita harus mengajari mereka bagaimana melindungi diri mereka sendiri, dan sebelum mereka kembali untuk bergantung pada kita dalam segala hal, kita perlu tahu bagaimana melindungi mereka. Agar terbiasa dengan kemandirian.
Orang tua perlu mengingat bahwa pengalaman tidak datang kepada anak-anak melalui ceramah atau nasihat, Anak tidak belajar bahwa hal ini bisa menyakitkan karena panas kecuali disentuh, dan belajar untuk berhati-hati dari kursi karena jatuh dari tempat yang tinggi itu menyakitkan.
Namun, ini tidak mencegah orang tua dari menjaga anak-anak dari jatuh di atas kepala mereka atau membawa alat atau benda tajam atau zat berbahaya, tetapi kita harus mengajari mereka dengan tenang tanpa ketegangan atau emosi, sehingga mereka tidak memiliki rasa takut yang berlebihan akan hal-hal ini.
Semboyan : Kita mampu keluar dari dari posisi ini dengan mengingat ayat : ( katakan: ‘ kita tidak akan menderita kecuali apa yang telah dituliskan Allah untuk kita”)
II.
ANALISA
1. Pengertian Fobia
Menurut Elida Prayitno
(2009:13) mengatakan bahwa Fobia atau fobi adalah suatu ketakutan yang tidak
masuk akal namun penderita dapat menjelaskan apa penyebab dan bagaimana cara
mengatasi ketakutannya itu. Para penderita fobia neurosis tidak menyadari apa yang
mendasari apa yang mendasari perasaan takutnya. Reaksi mereka terhadap
ketakutan itu sangat hebat yang menyebabkan penderita merasa sengsara. Jika
para penderita menyadari sebab-sebab yang mendasari dari ketakutan mereka itu,
maka ketakutan mereka berkurang dan bahkan dapat hilang.[2]
Secara umum, phobia adalah
rasa ketakutan kuat (berlebihan) terhadap suatu benda, situasi, atau kejadian,
yang ditandai dengan keinginan untuk ngejauhin sesuatu yang ditakuti itu.
Kalau sudah parah, penderitanya bisa terserang panik saat ngeliat hal
yang dia takutin. Sesak nafas, deg-degan, keringat dingin, gemetaran, bahkan
sampai tidak bisa menggerakkan badannya.
Menurut Atkitson (2005: 253)
mengatakan Istilah "phobia" berasal dari kata "phobi"
yang artinya ketakutan atau kecemasan yang sifatnya tidak rasional; yang
dirasakan dan dialami oleh sesorang. Phobia merupakan suatu gangguan yang
ditandai oleh ketakutan yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu obyek
atau situasi tertentu. Ciri psikis adalah rasa cemas/ panik, tetapi tanpa
dasar yang jelas, sedangkan ciri fisik misalnya : gemetar, jantung
berdebar-debar, terkadang disertai nafas tersengal-sengal.[3]
2. Bentuk-bentuk fobia
Phobia dapat dikelompokan secara garis besar dalam tiga bagian, yaitu :
a. Phobia sederhana atau spesifik (Phobia terhadap suatu obyek/keadaan
tertentu) seperti pada binatang, tempat tertutup, ketinggian, dan lain lain.
b. Phobia sosial (Phobia terhadap pemaparan situasi sosial) seperti takut
jadi pusat perhatian, orang seperti ini senang menghindari tempat-tempat ramai.
c. Phobia kompleks (Phobia terhadap tempat atau situasi ramai dan terbuka
misalnya di kendaraan umum/mall) orang seperti ini bisa saja takut keluar
rumah.
3. Penyebab Fobia
Menurut Bagby dan Shafer
(19) dalam Elida Prayitno (2009:14) mengemukakan penyebab penderitaan fobia
yaitu[4]
:
a. Pengalaman yang menyakitkan atau menakutkan akan menimbulkan
pengalaman traumatik. Pengalaman yang sangat menyakitkan atau menakutkan yang
menimbulkan trauma itu, biasanya dialami pada masa kanak-kanak. Misalnya
pengalaman traumatik yang berkaitan dengan hal-hal yang memalukan atau
peristiwa yang terlarang. Oleh karena itu penderita menghindari pikiran atau
ingatan berkenaan dengan peristiwa yang sangat memalukan itu dan tidak ingin
diketahui oleh orang lain. Pikiran atau ingatan yang memlaukan itu disingkirkan
oleh penderita dari kesadarannya dengan menekannya kealam bawah sadarnya,
sehingga dia lupa.
b. fobia muncul karena perasaan bersalah atau berdosa yang sangat tinggi.
Situasi yang memalukan dicegah agar situasi itu tidak muncul dlam kesadaran.
Namun ketakutan atau fobia tidak akan muncul jika penderita memiliki memiliki
hubungan yang harmonis, bahagia, aman dan damai dengan orang tua
semasa kanak-kanak dan setelah berkeluarga dan menikah.
c. fobia terhadap objek tertentu dapat menyebabkan pobia terhadap objek
lain. Dengan kata lain fobia dapat merembet kepada ketakutan kepada objek
lainya.
d. Selain itu salah satu penyebab fobia adalah Imajinasi yang berlebihan
dapat juga menyebabkan phobia.
Analisa yang pertama karena adanya faktor biologis di dalam tubuh,
seperti meningkatnya aliran darah dan metabolisme di otak. Bisa juga karena ada
sesuatu yang nggak normal di struktur otak. Tapi kebanyakan psikolog setuju,
phobia lebih sering disebabkan oleh kejadian traumatis kayak yang dialami
Rachel Green tadi. Kabarnya nih, beberapa hari setelah bom bali meledak para
korbannya yang selamat, jadi phobia sama api dan suara keras. Kejadian
traumatis, seperti inilah yang jadi penyebab phobia paling umum. Masih ada
penyebab lainnya yang dianalisa oleh psikolog, yaitu phobia juga bisa terjadi
karena budaya. Seperti di Jepang, Cina dan Korea, masyarakatnya takut banget
sama angka 4 (tetraphobia) sedangkan di Italia takut sama angka 17 yang
dianggapnya angka sial, Memang tidak rasional, tapi benar-benar terjadi.
4. Pengaruh Fobia terhadap Perkembangan Anak
Perlu kita ketahui bahwa phobia sering
disebabkan oleh faktor keturunan, lingkungan dan budaya. Perubahan-perubahan
yang terjadi diberbagai bidang sering tidak seiring dengan laju perubahan yang
terjadi di masyarakat, seperti dinamika dan mobilisasi sosial yang sangat cepat
naiknya, antara lain pengaruh pembangunan dalam segala bidang dan pengaruh
modernisasi, globalisasi, serta kemajuan dalam era informasi. Dalam
kenyataannya perubahan-perubahan yang terjadi ini masih terlalu sedikit
menjamah anak-anak sampai remaja. Seharusnya kualitas perubahan anak-anak
melalui proses bertumbuh dan berkembangnya harus diperhatikan sejak dini
khususnya ketika masih dalam periode pembentukan (formative period) tipe
kepribadian dasar (basic personality type). Ini untuk memperoleh
generasi penerus yang berkualitas.[5]
Berbagai ciri kepribadian/karakterologis perlu
mendapat perhatian khusus bagaimana lingkungan hidup memungkinkan terjadinya
proses pertumbuhan yang baik dan bagaimana lingkungan hidup dengan sumber
rangsangannya memberikan yang terbaik bagi perkembagan anak,khususnya dalam keluarga.
Berbagai hal yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, peranan orang tua, meliputi tokoh ibu dan ayah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, masih sering kabur, samar-samar. Sampai saat ini masih belum jelas mengenai ciri khusus pola asuh (rearing practice) yang ideal bagi anak. Seperti umur berapa seorang anak sebaiknya mulai diajarkan membaca, menulis, sesuai dengan kematangan secara umum dan tidak memaksakan. Tujuan mendidik, menumbuhkan dan memperkembangkan anak adalah agar ketika dewasa dapat menunjukan adanya gambaran dan kualitas kepribadian yang matang (mature, wel-integrated) dan produktif baik bagi dirinya, keluarga maupun seluruh masyarakat. Peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah teramat penting.[6]
Berbagai hal yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, peranan orang tua, meliputi tokoh ibu dan ayah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, masih sering kabur, samar-samar. Sampai saat ini masih belum jelas mengenai ciri khusus pola asuh (rearing practice) yang ideal bagi anak. Seperti umur berapa seorang anak sebaiknya mulai diajarkan membaca, menulis, sesuai dengan kematangan secara umum dan tidak memaksakan. Tujuan mendidik, menumbuhkan dan memperkembangkan anak adalah agar ketika dewasa dapat menunjukan adanya gambaran dan kualitas kepribadian yang matang (mature, wel-integrated) dan produktif baik bagi dirinya, keluarga maupun seluruh masyarakat. Peranan dan tanggung jawab orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak adalah teramat penting.[6]
Lingkungan hidup meliputi rumah, sekolah dan
lingkungan sosial, baik secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi anak.
Lingkungan merupakan sumber stimulasi yang penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian anak. Kita semua memahami bahwa sejak seorang anak
dilahirkan, sejak saat itu ia peka terhadap berbagai rangsangan dari lingkungan
hidupnya, baik dalam arti sempit dalam keluarga, maupun dalam arti luas dengan
lingkungan alamnya, akan berpengaruh terhadap kehidupan psikis.
Pada kenyataannya, seringkali dalam keluarga
dan lingkungan sekolah, yang seharusnya mendidik dan memberikan pengaruh yang
baik pada anak malah sebaliknya terjadi tindak kekerasan pada anak (child
abuse) baik fisik maupun psikis yang dilakukan orang orangtua di keluarga
atau guru di sekolah. Ini menjadi ancaman serius bagi anak-anak. Kondisi
tersebut harus segera diakhiri, sebab perlakuan kasar pada anak berakibat anak
juga akan bersikap kasar saat dewasa dan tidak bisa memecahkan persoalan lewat
dialog.
Saat ini memang belum ada studi khusus
mengenai kekerasan pada anak di sekolah dan rumah tangga. Diperkirakan 50-60%
orangtua melakukan child abuse dalam berbagai bentuk. Bentuk child abuse yang
sering diterima anak, seperti dijewer, dipukul (deraan fisik) karena anaknya
yang dinilai tidak berprestasi di sekolah, kata-kata kasar (bodoh, malas, kamu
besok tidak bisa menjadi apa-apa) dan lain-lain. Ini sangat memprihatinkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pola
pendidikan prasekolah bagi anak. Ini sangat penting, karena pendidikan
prasekolah merupakan ajang stimulasi sosial dan mental pada usia dini lewat
bermain dan berkawan. Namun, yang terjadi di hampir semua tempat, anak-anak
dijadikan robot-robot kecil yang harus menuruti kata pendidiknya atau guru.
Pendidikan prasekolah (play group dan taman
kanak-kanak) sering keliru memberikan kurikulum yang sesuai dengan usia anak.
Pada umumnya lebih banyak memberi pelajaran membaca, menulis dan berhitung yang
membuat anak-anak yang dipaksa belajar terlalu dini yang nanti berakibat anak
menjadischool phobia.
Pakar psikologi banyak mengatakan kurikulum
pelajaran yang dikembangkan di Indonesia sering tidak berpihak kepada
perkembangan perilaku kecerdasan anak. Kurikulum terlalu padat dan cenderung
dijejalkan kepada anak yang seharusnya bisa dirangsang kreatifitasnya sesuai
potensi unggul yang dimilikinya. Perlu dipahami anak memiliki batas-batas
perkembangan kecerdasan, sehingga kalau dipaksakan menerima suatu pelajaran
yang tidak sesuai kreatifitasnya, maka bisa menimbulkan dampak buruk bagi si
anak. Akibatnya anak bisa stress dan tidak bahagia.
Dunia anak adalah dunia bermain yang sangat
indah baginya, oleh karena itu, dalam proses mendidik anak itu juga harus
dilakukan secara bermain dengan santai dan akrab. Jangan mendidik anak-anak
secara formal sebab itu bisa bertentangan perkembangan perilaku kecerdasan
anak. Pada dasarnya semua anak itu adalah cerdas. Jika anak tidak pandai
matematika tidak bisa dikatakan bodoh, tetapi ia cerdas di bidang lain seperti
bermain musik karena memang potensi unggulnya di bidang itu. Dan ini bisa kita
lihat mereka yang sukses itu adalah orang-orang yang cerdas di bidangnya
masing-masing. Jadi sebenarnya anak itu bukan tidak cerdas, tetapi karena
sistem pendidikan yang keliru kemudian berakibat pada school phobia pada
anak-anak.
5. Solusi Fobia untuk orang tua
Perilaku orang
tua kepada anak memegang peranan yang snagat besar dalam perkembangan anak pada
masa mendatang, karena pada masa anak-anak merupakan periode kritis yang
menjadi dasar bagi berhasil tidaknya menjalankan tugas perkembangan
selanjutnya. Pertama kali anak seorang anak bergaul adalah
dengan orang tua. Sehingga perilaku orang tua kepada anak menjadi penentu bagi
perkembangan anak, baik perkembangan fisik maupun psikqisnya. Kartono seperti
yang dikutip Nurela, (2012) menyatakan perilaku orang tua yang overprotective
di mana orang tua terlalu banyak melindungi dan menghindarkan anak mereka dari
macam-macam kesulitan sehari-hari dan selalu menolongnya, pada umumnya anak
menjadi tidak mampu mandiri, tidak percaya dengan kemampuannya, merasa ruang
lingkupnya terbatas dan tidak dapat bertanggung jawab terhadap keputusannya
sehingga mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri. [7]
Sekarang ini banyak sekali ditemui orang tua yang memberikan apa saja
yang diingkan anak mereka, tapi tidak memberikan tanggung jawabq kepada anak
mereka. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sunarto dan Hartono dalam
Nurela (2012) bahwa kebiasaan orang tua yang selalu memanjakan anak, anak tidak
bisa mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan, pada umumnya anak menjadi
tidak mampu mandiri, tidak percaya dengan kemampuannya, dan merasa ruang
lingkupnya terbatas.[8]
Menurut Yusuf yang dikutip Nurela, (2012) menyatakan aspek perilaku Overproqtective
orang tua adalah qqkontak yang berlebihan kepada anak, perawatan atau pemberian
bantuan kepada anak yang terus menerus, mengawasi kegiatan anak secara
berlebihan dan memecahkan masalah anak.[9]
Maraknya berita kejahatan yang mengancam anak-anak membuat kita sebagai
orangtua berusaha memberikan perlindungan maksimal untuk buah ahti. Tetapi pola
asuh overprotective, yang membayangi anak kemana saja, bisa berdampak
buruk. Selain anak menjadi tidak mandiri, pola ash seperti itu juga membuat
anak rentan jadi korban perundungan (bullying).
Namun seorang anak akan memiliki kepribadian yang berbeda jika mereka
diasuh orang tua dengan pola asuh yang demokratis. Seperti yang dikatakan Kartono dalam Gustiani (2012)
menyatakan apabila anak duash dengan pola asuh demokratis maka tumbuh kembang
anak akan lebih baik.[10]
Dimana orang tua selalu memberikan kebebasan beraktifitas tetapi tetap
diarahkan orang tuanya, akan cenderung bebas melakukan aktifitas pembelajaran
dalam dirinya tetapi bertanggung jawab akan akibat yang diterima kelak,
pemberani, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, tidak tergantung pada orang
tuanya dan riang gembira. Selain pola asuh otoriter dan demokratis ada juga
pola asuh permisif.[11]
Dimana orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya dan anak diijinkan membuat
keputusan senqdiri tentang langkah apa yang akan dilakukan, orangtua tidak
pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang apa yang
sebaiknya dilakukan anak, dalam pola ash permisif ini hamper tidak ada
komunikasi anatra anak dengan orangtua serta tanpa ada disiplin sama sekali.
Pada dasarnya semua orang tua harus memberikan hak anak untuk tumbuh.
Semua anak ahrus memperoleh yang terbaik agar dapat tumbuh sesuai dengan apa
yang mungkin dicapainya dan sesuai
dengan kemampuan tubuhnya. Sesuai dengan kemampuan tububnya. Untuk itu perlu
perhatian dan dukungan orang tua.
IV. KESIMPULAN
Orang tua adalah guru yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Terutama
seorang ibu. Dia adalah madrasatul Ula bagi anak. Orang tua melalui fungsi
sosialisasi dan pendidikan dalam keluarga merupakan lingkungan pertama yang
diterima anak, sekaligus sebagi pondasi bagi pengembangan pribadi anak. Jadi
orang tua harus memahami dengan benar peran dan fungsi mereka bagi
anak-anaknya. Sehingga mereka akan mampu menepatkan diri secara lebih baik dan
mampu menerapkan pola asuh dan pembinaan yang tepat bagi sang anak. Agar tidak adanya
fobia yang dialami anak.
Kekhawatiran yang dirasakan seorang ibu memanglah wajar. Namun
kekhawatiran yang berlebih juga akan berdampak buruk bagi anak. Anak yang
dikenkang akan mengalami dua sifat, yang pertama dia akan menjadi idiot dan
penakut atau dia akan menjadi pemberontak dan pembangkan. Selain itu ibu adalah
contoh bagi anak. Apa yang dilakukan ibu pasti akan di contoh oleh anak.
LAMPIRAN
Qowaidu alnahwiyah
Inna wa Akhwatuha ( إِنَّ وَ أَخْوَاتُهَا)
*. إِنَّ وَ أَخْوَاتُهَا مِنَ الْحُرُوْفِ اَلَّتِيْ
دَخَلَتْ عَلَى الْجُمْلَةِ اَلَّتِيْ تَتَكُوْنُ مِنَ الْمُبْتَدَأِ وَالْخَبَرِ فَيَنْصُبُ
الْمُبْتَدَأِ فَيَكُوْنَ إِسْمًالَهُ مَنْصُوْبًاوَيَرْفَعُ الْخَبَرِ فَيَكُوْنَ
خَبْرًا لَهُ مَرْفُوْعًا
*. إِسْمٌ إِنَّ وَ أَخْوَاتُهَا: ( تَنْصِبُ الإِسْمَ وَ تَرْفَعُ الْخَبَرْ)
*. إِسْمٌ إِنَّ وَ أَخْوَاتُهَا: ( تَنْصِبُ الإِسْمَ وَ تَرْفَعُ الْخَبَرْ)
*. Inna wa
Akhwatuha ( Saudara-saudarnya ) adalah huruf-huruf yang masuk ke dalam jumlah (
kalimat ) yang terdiridari Mubtada dan Khobar, menashob Mubtada’ maka menjadi
Isim Inna dan merafa’ Khobar maka menjadi Khobar Inna.
*. Isim Inna dan
Saudara-Saudaranya ( Menashob Isim dan Merafa’ Khobar ).
Adapun saudara-saudara Inna sebagai berikut ;
*. أَنَّ لِلْتَأْكِيْدِ :
Anna (
Sesungguhnya) untuk menguatkan.
مِثْلُ
:
سَمِعْتُ أَنَّ الْمُدَرِّسَ مَرِيْضٌ
( Saya mendengar sesungguhnya guru (lk) itu sakit )
سَمِعْتُ أَنَّ الْمُدَرِّسَ مَرِيْضٌ
( Saya mendengar sesungguhnya guru (lk) itu sakit )
*. كَأَنَّ لِلْتَشْبِيْهِ
:
Kaanna ( Seolah-olah) untuk penyerupaan.
مِثْلُ :
كَأَنَّ الْمُؤَظَّفَ مُدِيْرٌ
( Pegawai itu seolah-olah seperti direktur )
Kaanna ( Seolah-olah) untuk penyerupaan.
مِثْلُ :
كَأَنَّ الْمُؤَظَّفَ مُدِيْرٌ
( Pegawai itu seolah-olah seperti direktur )
*. لَيْتَ لِلْتَمَنَّى
:هُو يَكُوْنُ
Laita ( ingin sekali) untuk angan-angan.
*. فِيْ الْمُمْكِنْ
اَلَّذِيْ يَسْهُلُ حُصُوْلُهُ .
1. Angan-angan yang mungkin/dapat mudah dicapai.
مِثْلُ
:
لَيْتَ الطَّالِبَ نَاجِحٌ
( Siswa itu ingin sekali lulus )
لَيْتَ الطَّالِبَ نَاجِحٌ
( Siswa itu ingin sekali lulus )
*. فِيْ الْمُمْكِنْ
اَلَّذِيْ يَصْعَبُ حُصُوْلُهُ أَوْ يَسْتَحِيْلُ حُصُوْلُهُ .
2. Angan-angan yang susah dicapai atau mustahil
terjadi.
مِثْلُ
:
لَيْتَ الْمُهْمِلِيْنَ نَاجِحُوْنَ
( Para orang lalai itu ingin sekali lulus )
لَيْتَ الْمُهْمِلِيْنَ نَاجِحُوْنَ
( Para orang lalai itu ingin sekali lulus )
*. لَعَلَّ لِلْتَرِجِيْ
وَهِيَ لاَ تَكُوْنُ إِلَّا فِيْ الْمُمْكِنْ :
La’alla ( Mudah-mudahan)
مِثْلُ
:
لَعَلَّ الطَّالِبَيْنِ مَاهِرَانِ
لَعَلَّ الطَّالِبَيْنِ مَاهِرَانِ
( Mudah-mudahan kedua siswa itu pintar )
*. لَكِنَّ لِلْاِسْتِدْرَاكِ:
*. لَكِنَّ لِلْاِسْتِدْرَاكِ:
Lakinna ( Tetapi ) untuk membandingkan.
مِثْلُ :
مِثْلُ :
أَبُوْكَ غَنِيٌّ لَكِنَّ
أَخَاكَ فَقِيْرٌ
( Bapakmu kaya tetapi kakakmu miskin )
( Bapakmu kaya tetapi kakakmu miskin )
DAFTAR
PUSTAKA
Atkiddson. 2005. Pengantar Psikologi. Jakarta; Erlangga.
Davidson. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta; Gravindo.
Elida Prayitno. 2009. Psikologi Abnormal. Padang; FIP UNP
Gustiani,2015. Pola ash makin modern, orang tua di asia
cenderung overprotective terdapat dalam http://health.detik.com.
Diakses tanggal 29 april 2015.
http//www. 15 April 2007. Cara mengatasi fobia. Org.blongspot.com
http//www. 20 Mai 2008. Admin. Fobia. Org.psiAb.com.
http//www.13 Juni 2008. Pengaruh Fobia terhadap perkembangan anak. Andy.com
Isywara Mahendratto. 2007. Psikologi Abnormal. Bandung; PT.
Cipta Karya.
Jefrfrey. 2003. Psikologi Abnormal. Jakrata; Erlangga.
Nurela,
2012. Hubungan anatra perilaku over protective orang tua dengan penyesuain
diri remaja. (IAIN: Cirebon )
Santrock,
John W. 2011. Masa perkembangan anak. (Jakarta: Salemba Humanika)
[1] http://jhe-handayani.blogspot.com/2013/11/makalah
phobia, html, diakses pada tanggal 16 April 2019, 13.45 wib.
[6] http//www. 15 April 2007. Cara mengatasi fobia.
Org.blongspot.com, Diakses tanggal 29 april 2019
[7] http//www.13 Juni 2008. Pengaruh Fobia terhadap
perkembangan anak. Andy.com, Diakses tanggal 29 april 2019
[8] Nurela, Hubungan
anatra perilaku over protective orang tua dengan penyesuain diri remaja.
(IAIN: Cirebon, 2012)
[10] Gustiani, Pola ash
makin modern, orang tua di asia cenderung overprotective terdapat dalam http://health.detik.com.
Diakses tanggal 29 april 2019.
[11] Santrock, John W, Masa
perkembangan anak, (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011)
Komentar
Posting Komentar